Mencari Senyum

Seorang lelaki tua dengan langkah tertatih-tatih memasuki sebuah kota. Wajahnya kusut, matanya liar dan pakaiannya kumal. Beberapa orang yang berpapasan dengannya segera menyingkir.

Di suatu tempat, di bawah sebuah pohon setua dirinya, lelaki itu tersungkur. Perlahan ia mencoba bangkit dan kembali memandangi orang yang lalu lalang di kota itu.

Lelaki Tua: “Tolong…! Tolonglah aku! Tolong…!” (mengiba, mengulang-ulang perkataannya)

Dua lelaki muda melintas di hadapannya. Memandang sekilas kemudian menghampirinya. Lelaki tua itu terus merintih-rintih. Beberapa orang lewat begitu saja tanpa peduli.

Lelaki 1: “Ada apa, Pak? Ada apa?” (memegang tangan, membimbing lelaki tua itu bangkit)

Lelaki 2: “Ya, apa ada yang bisa kami bantu?” (prihatin)

Lelaki Tua: “Tolonglah saya. Tolong! Saya…saya mencari sesuatu yang telah tak ada lagi di kota kami.”

Dua lelaki muda itu saling berpandangan heran.

Lelaki 1: “Sesuatu yang tak ada lagi di kota bapak?”

Lelaki Tua: “Ya…,aku mencari sesuatu yang sangat berharga, yang tiba-tiba saja tercerabut dari wajah semua orang di kota kami.” (manggut-manggut, sedih)

Lelaki 1 dan lelaki 2: “Apa itu…?”

Lelaki Tua: (menerawang penuh harap) “Sebuah senyuman.”

Lelaki 1 dan 2: “Senyuman?”

Lelaki 1: “Aneh. Bapak bilang bapak mencari sebuah senyuman. Apa saya tidak salah dengar?”

Lelaki Tua: (menggeleng-gelengkan kepala) “Ya, aku sudah berjalan begitu jauh, mencari sebuah senyuman.”

Lelaki 2: “Jangan bergurau! Semua manusia diciptakan dengan wajah. Di dalam wajah kita, ada bibir yang bisa digerakkan begini, begini dan begitu (menggerakkan bibirnya ke depan, ke samping dan sebagainya dengan kesal).

Lelaki 1: “Ya, bahkan orang segila apa pun masih memiliki senyuman. Aku benar-benar tak mengerti. ”

Lelaki Tua: “Kalau begitu kalian menganggapku lebih dari gila!? (sewot). Dengar, aku tidak mengada-ada! Semua orang di kotaku sudah tak bisa lagi tersenyum! Titik!”

Lelaki 1 dan 2 saling berpandangan kembali.

Lelaki 1 : (menarik napas panjang, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal) “ Baiklah. Sesuatu terjadi tentu ada sebabnya. Mungkin aku pun telah gila, tetapi aku ingin tahu hal apa yang menyebabkan penduduk di kota kalian tak bisa tersenyum?”

Lelaki 2: “Ya, apa ada orang-orang yang berkeliaran dan menjahit semua bibir penduduk di kotamu, sehingga mereka tak bisa lagi tersenyum atau membuka mulut untuk tertawa?” (mengejek)

Lelaki Tua: (menggeleng, serius) “Tidak. Bahkan jahitan-jahitan di mulut kami telah dilepaskan. Dulu memang penduduk kota kami tidak bisa bicara, kecuali (mencontohkan) Hm…hm…(mengangguk-angguk), tetapi kini, setelah jahitan-jahitan dilepaskan dari bibir kami, entah mengapa bibir kami menjadi kebas. Kami bebas berkata-kata tetapi tak bisa lagi tersenyum. Bahkan, bila kami mencoba untuk tertawa yang keluar adalah amarah, tangisan dan airmata….”

Lelaki 2: “Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti. Lebih baik aku pergi daripada mendengarkan celotehan orang gila ini!” (kesal dan berbalik akan pergi)

Lelaki 1: (mengejar lelaki 2 yang bergegas pergi) “Tunggu, teman! Tetapi…kurasa, entahlah…, ia datang dari jauh, mungkin ia mengatakan yang sebenarnya, dan mungkin kita bisa kita menolongnya.”

Lelaki 2: (cemberut) “ Menolong? Bagaimana menolong orang gila ini?”

Lelaki 1 bergegas menghampiri lelaki tua itu.

Lelaki 1: “Katamu seluruh penduduk di kotamu tak dapat lagi tersenyum?”

Lelaki Tua: (manggut-manggut): “Ya…,ya….”

Lelaki 1: “Berarti kau juga?”

Lelaki Tua: (manggut-manggut lagi) “Tentu saja!”

Lelaki 1 bergegas kembali menghampiri Lelaki 2. Wajahnya lebih cerah.

Lelaki 1: “Dengar, lelaki tua itu mengaku bernasib sama dengan seluruh penduduk di kotanya! Ia juga tak bisa tersenyum! Tugas kita adalah menolongnya agar ia bisa tersenyum lagi! Nah, setelah ia bisa tersenyum kembali, mungkin hal ini akan berpengaruh pada para penduduk kota itu.”

Lelaki 2: (Bengong) “Jadi…kita harus membuatnya tersenyum?“

Lelaki 1: “Ya, tunggulah sebentar di sini. Aku akan menyuruh orang membawa makanan dan minuman yang enak untuknya. Siapa tahu ia akan tersenyum.”

Lelaki 2: “Tentu saja (setuju, yakin), ia akan tersenyum dan berterimakasih pada kita.”

Lelaki 1 meninggalkan tempat itu. Lelaki 2 sesekali memperhatikan si lelaki tua. Wajah lelaki tua itu keras, dingin, dan penuh curiga.

Tak lama, Lelaki 1, kembali bersama seorang lelaki lain bergaya genit (lelaki 3) yang membawa baki penuh berisi makanan dan minuman yang enak. Mereka meletakkan nampan besar itu di hadapan si lelaki tua.

Lelaki 1: “Ini kubawakan makanan dan minuman lezat. Nikmati dan tersenyumlah.”

Lelaki Tua: (memakan makanan dan minuman itu dengan rakus) “Terimakasih….”

Lelaki 2: (menghampiri) “Mengapa kau tak mengucapkan terimakasih sambil tersenyum pada kami?”

Lelaki Tua : “Sudah kukatakan, aku tak bisa tersenyum!”

Lelaki 1,2,3 saling berpandangan.

Lelaki 2: “Aku akan menggelitik kakinya. Biasanya bila digelitik, orang pasti akan tertawa!”

Lelaki 1 : “Ya, ya…, ide yang bagus!”

Lelaki 3: (bindeng) “Aih, ike juga setuju!”

Lelaki 2 segera menggelitik kaki lelaki tua itu, tetapi tak ada reaksi. Ia menggelitik sekujur badan orangtua itu. Sia-sia. Lelaki tua tersebut tak juga tertawa. Akhirnya ketiga lelaki itu menggelitik sekujur badannya secara bersamaan.

Lelaki Tua: “Aduh…aduh, sakit! Aduh perih! A…duh!” (mengerang)

Lelaki 1,2,3: (Terkejut, menghentikan tindakan mereka) “Sakit? Perih?”

Lelaki 2: “Mengapa kau tak tersenyum? Seharusnya kau tertawa! Orang akan tertawa bila kegelian!”

Lelaki tua: (melotot) “Aku tidak bisa, tahu! Bodoh! Bukankah sudah kukatakan sejak tadi, aku tak bisa lagi tersenyum. Jadi berhentilah melakukan hal yang konyol! Tolong aku, anak muda!”

Lelaki 1,2,3 berpandangan keheranan.

Lelaki 1: (bangkit) “Sebentar, aku punya akal!” (pergi)

Lelaki 2 dan 3 bangkit sambil memandang lelaki tua itu sebal. Mereka bolak-balik di hadapan lelaki tua itu sambil memikirkan cara membuatnya tersenyum. Sesekali lelaki 2 nyengir kuda melihat gaya lelaki 3 yang centil. Tetapi lelaki tua itu sama sekali tak bergeming.

Lelaki 3 (bindeng): (berlari gembira menghampiri lelaki tua itu) “Aih, aku punya dollar yang banyak! Kau mau? Ambillah? Nih, ini! Semua menjadi milikmu!”

Lelaki Tua: “Untukku? Boleh.” (memasukkan semua dolar ke sakunya).

Lelaki 3 : (bengong, bindeng) “Mana ucapan terimakasihmu?”

Lelaki Tua: “Terimakasih.” (datar)

Lelaki 3: (kesal, bindeng) “Di mana-mana, orang itu kalau dikasih bantuan, apalagi uang, matanya berbinar-binar, hati menjadi girang dan ia akan tersenyum bahkan tertawa. Bagaimana sih?”

Lelaki Tua: (cemberut) “Ngasih kok nggak ikhlas. Sudahlah, tolong saja aku dan para penduduk kota agar bisa tersenyum kembali….”

Lelaki 2 dan 3: “Huh!” (kesal)

Tiba-tiba, lelaki 1 datang bersama seorang badut yang lucu sekali. Badut itu menari-nari, menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Sang Badut mengitari lelaki tua dan mencoba terus menghiburnya.

Badut (jenaka) : “Apakabar, Pak tua? Tralala trilili, aku pelucu, penghibur semua orang (tertawa-tawa), janganlah takut!” (badut memamerkan berbagai aksi lucu)

Lelaki 1,2,3 : (tertawa dan bertepuk tangan melihat aksi badut)

Lelaki tua itu menatap Sang Badut agak lama, lalu di luar dugaan, ia malah menangis. Lambat laun tangisan itu berubah isakan yang semakin kencang. Lelaki 1,2 dan 3 keheranan.

Lelaki Tua: ( Menangis, sedih sekali) “Mengapa harus ada orang sepertimu? (menunjuk-nunjuk badut). Setelah tiga puluh dua tahun kepedihan ini kau muncul dengan konyolnya.”

Lelaki 3: “Aih, apa maksudmu, Pak Tua!”

Lelaki 1: “Ya, bukankah seharusnya badut dapat membuat orang tersenyum dan tertawa?”

Lelaki Tua: (menangis)“Sungguh, aku telah melihat badut-badut bermunculan tahun ini di sepanjang jalan di kota kami. Seolah mereka adalah pahlawan yang bisa mengurangi derita dan membuat kami menyunggingkan senyuman. (mencoba berhenti menangis) Dengar! Kami hanya bisa menertawakanmu dalam kegetiran terpencil di sudut sanubari kami. Kalian tak bisa membodohi kami. Sebab kalian cuma badut! Bahkan bila kalian mengenakan jas, dasi atau sorban sekali pun! Senyumku bukan untuk orang seperti kalian!”

Lelaki 2: “Oh, Tuhan! Aku tak mengerti! Ia malah marah!”

Badut: (Kesal) “Ya, sudah. Lebih baik aku pergi.”

Lelaki 1 dan 2 berpandangan bingung sambil menggelengkan kepala. Lelaki 3 dengan centil melambai-lambaikan tangannya pada Sang Badut.

Lelaki 3: “Aih, daaag, Om Badut!”

Suram. Ke empat lelaki itu termenung sesaat.

Lelaki Tua: (berjalan,mencari, mendamba)“Senyuman…,di mana senyuman itu? Aku ingin membawa berjuta senyuman kembali ke kota kami…, senyuman…mana senyuman itu? Kehidupan kota kami bagai mati tanpa senyuman….” (merintih sedih)

Hening.

Lelaki 1: (berteriak) “Pak Tua! Hei, Pak Tua! Sebenarnya siapakah yang mengambil semua senyuman dari kota kalian!?”

Lelaki 2: “Ya! Itu yang belum kau ceritakan pada kami!”

Lelaki Tua: (mengernyitkan kening, menggelengkan kepala, menerawang) “Aku tidak begitu pasti. Mereka para penjarah.”

Lelaki 2: “Penjarah? Apa yang mereka jarah?”

Lelaki Tua: “Apa saja. Harta, kedudukan bahkan kehormatan. Mereka menjarah beras, gula juga perempuan. Mereka membakar dan membuat onar. Memaksa kami menggigil karena takut dan lapar, setiap malam dan siang. Mereka bermain-main dengan darah lalu tiba-tiba para ulama kami mati. Kemudian tak ada lagi senyum yang bisa kami temukan. Semua senyum mereka rampas, untuk mereka bagikan pada orang-orang gila yang kini berkeliaran di kota kami…. “

Hening lagi.

Tiba-tiba terdengar suara hiruk pikuk. Lelaki-lelaki itu mencari arah datangnya suara dan terkejut melihat banyak orang menuju ke arah mereka. Wajah orang-orang itu seperti mencari sesuatu. Lelaki 1 segera menghampiri salah seorang di antara mereka.

Lelaki 1: “Siapa kalian? Darimana dan hendak kemana?”

Orang 1: “Kami mencari orang-orang yang bercahaya.”

Lelaki 2: (menghampiri) “ Orang-orang yang bercahaya?Apa maksudmu?”

Orang 1: “Kami telah kehilangan senyuman. Hanya orang-orang bercahaya yang bisa mengembalikan senyum kami.”

Lelaki Tua : ( tersentak, tergopoh-gopoh) “Jadi kalian juga seperti aku? Hidup tanpa senyuman?”

Orang-orang itu mengangguk-angguk.

Lelaki Tua: “Dan hanya orang-orang yang bercahaya, yang bisa membuat kita kembali tersenyum?”

Orang 1: “Ya.”

Lelaki 2: “Siapa mereka? Di mana mereka?”

Orang 1: “Entahlah. Kita bisa jelas mengetahui, ketika kita melangkah di jalan cahaya….”

Lelaki Tua: “Melangkah di jalan cahaya?”

Orang 1: “Ya, melangkah di jalan cahaya!”

Orang-orang itu mengangguk-angguk dan segera berlalu dari hadapan mereka. Tiba-tiba lelaki tua menyusul. Ia berlari ke arah orang-orang itu.

Lelaki Tua: “Aku ikut! Cahaya! Cahaya!” (berlari meninggalkan ketiga lelaki yang tampak bingung).

Lelaki 3: “Aih, masak sih senyuman begitu susah dicari. Sampai harus menuju cahaya segala. Lihat nih (pada lelaki 2), senyumku manis kan?”

Lelaki 2: (melompat, terbelalak) “Itu bukan senyuman! (pada Lelaki 1) Teman, lihatlah, seringainya! Menyeramkan!”

Lelaki 3: (bingung, mencoba tersenyum, tetapi yang tampak seringai yang mengerikan)

Lelaki 1: “Benar! Kkkau menakuti kami! Seharusnya kau tersenyum. Lihat senyumku, ini…”

Lelaki 3: (takut) “Aih, tolong!! Senyummu membuatku takut! Toloooong!” (lari meninggalkan Lelaki 1 dan Lelaki 2).

Lelaki 2: “Berhenti tersenyum! Kau menyeramkan. Nah, lihat senyumku (mencoba tersenyum, tetapi kaku) “A…apa yang terjadi…, a…aku tak bisa tersenyum….”

Lelaki 3: (memegang bibirnya) “A…aku juga…,mengapa bisa begini? Apa yang…sebenarnya terjadi?”

Panik.

Lelaki 1 dan 2: (sedih, bingung) “Senyuman…, di mana senyuman? (mencari, melangkah tak tentu arah) Cahaya…, cahaya… di mana cahaya? Senyuman…senyuman… di mana senyuman…? Cahayaaaa!?? Senyumaaaann!?? Senyumaaaan!?? Cahayaaaa!??”

Utan Kayu, 1998
Helvy Tiana Rosa
5 Februari 2001

0 Comments:

Post a Comment